Selasa, 27 Januari 2015

Keluarga Kucing

Dear anakku.
Perkenankan kali ini Ayah akan bercerita sedikit panjang perihal keluarga kucing. Saat kamar kost semakin terasa pengap karena kemarau dan ditambahi setumpuk tugas kuliah dari dosenmu, maka untuk sejenak buka blog ini dan baca cerita yang akan Ayah kisahkan kali ini. Siapa tahu rasa pengapmu akan sedikit hilang. 

Jika menilik ke belakang, keluarga Ayah termasuk keluarga yang sering pindah rumah beberapa kali, terutama sejak Abah atau kakek dari pihak Ayah meninggal dunia. Saat kakekmu meninggal, Ayah masih tujuh tahun, sedang mondok di sebuah pesantren di Ngunut, Tulungagung. Ingatan Ayah soal kematian kakekmu tidak banyak, pun soal kenangan antara Ayah dan beliau semasa hidup. Perihal kakekmu akan Ayah tuliskan khusus dilain kesempatan. 

Setelah kakekmu meninggal, nenek yang biasa kita sebut Umi harus menghadapi kondisi pelik. Ada enam anak yang harus dinafkahi oleh Umi seorang diri. Yang tertua, Om Ryan mungkin baru lulus SMA sementara yang paling kecil yakni Om Mbay ayah kira saat itu belum genap lima tahun usianya. 

Kakekmu, yang dipanggil Abah tidak meninggalkan banyak perbekalan untuk keluarganya. Meski masih ada rumah dan kios dipasar Cicangkal yang sampai kini terus dikelola oleh Om Ryan, tapi beberapa barang berharga seperti perhiasan dan kendaraan bermotor sudah tidak ada. Perawatan Abah selama di RSUD Adjidarmo, Rangkasbitung tidak sedikit biayanya. Umi pernah bercerita, Abah menderita komplikasi, dari paru-paru sampai usus buntu. 

Beberapa saudara kemudian mengulurkan tangan untuk membantu Umi membiayai anak-anaknya. Ayah saat itu dititipkan ke Uwa Emun, di Citeras. Pendidikan ayah di pesantren terpaksa tidak dilanjutkan. Hasrat untuk tinggal bersama dalam satu rumah bersama saudara yang lain tidak terwujud. Bukan hanya ayah yang dititipkan. Dua adik Ayah yakni Om Irfan dan Om Mbay dititipkan Umi ke sebuah yayasan panti di Tanah Abang. Disana mereka mendapat kehidupan dan pendidikan yang layak sampai lulus SMA. Ayah pikir nasib mereka sedikit lebih bagus dibanding ayah meski mungkin sampai saat ini kedua Om mu itu masih merasa 'dibuang' ke sana. 

Sementara Om Ryan sepertinya tetap ikut Umi. Sedangkan Om Dimy dimasukkan pesantren di daerah Bogor dan Tante Rahma mondok di Tasikmalaya. Kematian Abah menjadi awal terpisahnya keluarga Ayah secara fisik dan batin. Dan sejak saat itu ada sesuatu yang hilang dan belum pernah kembali. 

Selama di Citeras, ayah kurang begitu tahu bagaimana kehidupan Umi. Tapi dari sebagian kecil ingatan yang masih ada, Umi sempat tinggal di sebuah kontrakan Legok Nyenang, dekat pasar Cicangkal. Mungkin dimaksudkan supaya Umi lebih mudah mengurusi kios. Kios kemudian diurus oleh Om Ryan sementara Umi kemudian memutuskan mencari nafkah jauh sampai ke Kuwait. 

Kondisi ini membuat ayah dan yang lain tidak memiliki rumah untuk pulang. Bahkan ayah pikir, kita sekeluarga tidak punya tempat yang pantas untuk disebut rumah. Rumah dalam artian tempat berkumpulnya keluarga dan kenangan sejak kecil. Rumah peninggalan Abah yang letaknya jauh dari tempat usaha, ditinggalkan dan tak terurus. Tiap kali lebaran atau liburan sekolah , semua anak Umi pulang ke rumah Uyut di Kampung Kelapa, dimana kami meski susah, harus merasa itu rumah kami. 

Memasuki dunia kerja, ayah lebih memilih sering menginap di tempat kerja. Selain jarak yang jauh, kurangnya ikatan rasa dengan rumah Uyut membuat ayah sedikit enggan untuk pulang. Ayah merindukan sebuah rumah, tapi tak punya gambaran rumah seperti apa yang Ayah rindukan. Semacam Utopia terhadap rumah.

Kondisi berubah saat ayah memiliki Bunda dan kamu. Peran Ayah sebagai keluarga mengharuskan Ayah tidak hanya menemukan rumah yang Ayah rindukan, tapi justru membuat kalian menemukan rumah yang nyaman untuk ditinggali. Kalian berdua saat ini sudah cukup membuat Ayah nyaman. Kalian berdua sudah menjadi rumah bagi hati dan rasa cinta Ayah. 

Meski begitu, rumah secara fisik tetaplah harus ada. Ayah masih mencari. Saat menulis ini, umurmu baru tiga tahun kurang tiga bulan dan kita sudah pindah rumah dan kontrakan enam kali. Meski kerap diledek oleh teman dan saudara seperti kucing yang sering berpindah rumah membawa anak-anaknya, Ayah tak terlalu peduli.

Ayah tak punya waktu menjelaskan ke mereka bagaimana rasanya tidak memiliki rumah sejak kecil. Ayah tak punya waktu menjelaskan ke mereka bagaimana susahnya dipaksa merasa nyaman disebuah rumah bagaimanapun bagusnya. Ayah bahkan tidak punya waktu untuk menjelaskan betapa bencinya Ayah dengan komentar mereka. Berbicara anakku, selalu lebih mudah dibanding merasakan langsung. 

Ayah tidak tahu akan berapa kali lagi kita pindah. Mungkin akan berhenti dihitungan ke tujuh, atau malah dihitungan ke delapan puluh. Jika memang butuh seratus kali pindah rumah lagi demi menemukan rumah masa depan kita nanti, mari kita nikmati perjalanannya. Meski jujur, saat kamu dewasa ayah lebih ingin kamu berpetualang menjelajah dunia dibanding hanya berdiam diri di rumah saja. 

Dear anakku
Ayah tidak pernah membicarakan perihal perasaan Ayah kepada siapapun. keluhan yang keluar dari mulut Ayah selama ini kadang hanya uap lalu saja. Mungkin hanya kepadamu kelak Ayah akan bebas bicara meski tetap tidak menghapuskan jarak antara seorang ayah dan anak. Lekas besar, mari bertualang.

0 komentar:

Posting Komentar

 
;