Selasa, 13 Juni 2017

Menyambut Kelahiran Abi Bagian 1

Dear Alif anakku
Tahukah kamu dulu ayah sempat bilang ke bunda kalau kamu mungkin akan menjadi satu-satunya anak yang kami punya karena ayah tidak mau punya anak banyak? Meski bunda tidak setuju dan kemudian Abi adikmu, lahir tanggal 1 Juni 2017. 
Ayah dan bunda masih berdebat apakah ingin punya anak dua atau tiga. Bunda ingin satu anak  lagi setelah Abi lahir dengan harapan bisa memiliki anak perempuan. Sementara bagi ayah, tiga anak adalah toleransi tertinggi yang bisa ayah beri bagi bunda.

Saat ini kamu sedang sakit gigi karena geraham belakang bolong, nanti ayah bawa ke dokter gigi, untuk sekarang mari ayah ceritakan kenapa ayah ingin punya anak satu tapi sekarang anak ayah malah bertambah jadi dua. Alasannya sederhana, karena ayah lahir dari keluarga besar. Kalau dihitung semua, maka ayah memiliki delapan saudara kandung. Ya, umi punya sembilan anak. Delapan lelaki dan sebiji perempuan, bibimu Rahma. Tapi dua anak kembar pertama meninggal saat masih kecil, jadi sisa sembilan sampai sekarang.

Entah umi atau abah yang ingin punya anak banyak. Mungkin karena tinggal di pelosok kampung dengan minim hiburan dan masih kuat dogma banyak anak artinya banyak rezeki, maka hampir setiap dua tahun sekali bayi keluar dari perut umi. Tentu menyenangkan kalau rumah diisi anak-anak kecil menggemaskan sebagai sumber kelucuan. Itu sebelum mereka kemudian tumbuh besar dan kemudian berubah menjadi 'menjengkelkan'. Kemudian abah meninggal. Setelah bersepakat untuk memiliki banyak anak, abah meninggalkan umi dengan begitu banyak beban dan tanggungan. Kamu tahu, memiliki anak sebenarnya sebuah kesepakatan bersama yang memiliki konsekuensi yang juga harus ditanggung bersama. Umi dan abah berkewajiban tidak hanya memiliki anak banyak, tapi memberikan mereka perawatan dan perhatian sejauh anak mereka membutuhkan. Dan abah gagal mempertahankan kewajibannya saat anak keempatnya yakni ayah, masih berumur delapan tahun. 

Tapi tentu saja bukan keinginan abah untuk meninggal di usia 40 tahun. Abah tidak salah. Tidak baik juga menyalahkan orang tua sendiri, apalagi yang sudah meninggal. Semoga abah diberi kelapangan dan dijauhkan dari siksa kubur, amin. Sayang ayah waktu itu masih kecil dan tidak terlalu dekat dengan abah, jadi tidak merasa sedih saat melihat abah dikuburkan. Abah meninggal karena komplikasi.

Toh pengalaman ditinggalkan abah diusia delapan tahun memberikan ayah pemikiran setelah menjadi orang tua. Sebagai ayah, tugas tebesar ayah memang memberikan kepastian sokongan finansial bagi keluarga. Memastikan selalu ada makanan, memastikan membeli kebutuhan, memastikan biaya pendidikan dan sebagainya. Tapi satu lagi tugas yang lebih penting adalah, bertahan hidup. Ayah ingin selama mungkin bisa hidup dan tidak ingin kejadian abah terulang.

Lihat yang terjadi setelah abah meninggal. Umi kalang kabut mencukupi kebutuhan enam anak, dari makan sampai sekolah. Makan mungkin tidak susah, tapi umi pernah bilang yang penting semua anaknya harus bisa lulus SMA. Umi kemudian pergi menjadi TKW. Wawa Dimmy tinggal di pesantren di Bogor, bibi Rahma di Tasikmalaya, ayah tinggal di Rangkasbitung selama tujuh tahun bersama keluarga Uwa Uci dan Uwa Ending sementara Om Irfan dan Om Mbay dititipkan di yayasan anak yatim di Tanah Abang. Keluarga umi tercerai berai. Meski kemudian umi berhasil membuat semua anaknya lulus SMA, tapi semua anaknya menyimpan luka. Bukan luka karena apa yang dilakukan abah atau umi. Tapi luka karena harus tumbuh besar tanpa bisa rutin makan bersama secara lengkap di meja makan keluarga. Kami harus mencari sosok keluarga masing-masing. Ini tidak harus terjadi seandainya, abah tetap hidup atau abah hanya punya dua anak.

Bayangkan kalau abah tidak sakit dan bisa hidup dua puluh tahun lagi. Maka abah bisa menjadi wali nikah di pernikahan ayah, pernikahan bibi, memangku cucunya saat disunat, membimbing Wawa Ryan berniaga, harus mendongak ke atas saat menatap Om Irfan, mengajari Om Mbay naik sepeda atau bahkan menunggui Wawa Dimmy selama di rumah sakit.

Dear alif, anakku
Ayah tentu ingin melihatmu besar dengan mata sendiri. Mengambil raportmu, mengantarmu sekolah, menghadiri acara wisudamu, menjadi wali nikahmu, atau bahkan sampai nanti mengelus rambut anakmu. Meski umur dan maut adalah kemutlakan yang dimiliki Allah, setidaknya ayah ingin berusaha. Tumbuh menjadi besar tanpa orang tua bukanlah kehidupan yang ayah ingin kamu lalui nanti. 

Ayah jadi ingat, dulu pernah berkata ke Bunda kalau ayah masih hidup saat kamu berusia sembilan tahun maka ayah sudah melampaui apa yang sudah abah lakukan. Semoga Allah bermurah hati memberikan ayah umur panjang.



 

0 komentar:

Posting Komentar

 
;